Oleh: Eddy Supriadi (mantan birokrat)
Pilkada Ulang Kota Pangkalpinang 2025 bukan sekadar soal siapa yang akan duduk di kursi wali kota, melainkan soal siapa yang benar-benar memahami denyut rakyat, menyentuh harapan mereka yang telah lama jenuh dengan politik basa-basi, dan berani menawarkan jalan keluar dari sekadar rutinitas kekuasaan.
Kota Pangkalpinang hari ini bukan kota yang kekurangan pemimpin, melainkan kota yang menagih arah baru dalam kepemimpinan. Dalam jagat politik lokal yang penuh kalkulasi elektoral, kita butuh lebih dari sekadar figur populer. Kita butuh pemimpin yang otentik, berani mengambil risiko moral, dan mampu melampaui batas simbol untuk bekerja di ruang substansi.
Pertarungan Narasi, Bukan Hanya Angka
Pemilihan ulang ini mempertemukan berbagai latar belakang kandidat: dari mantan petahana (Maulana Aklil), akademisi progresif (Prof. Saparudin), birokrat nasional dengan visi modernisasi (Roy Ridho Sani), purnawirawan militer dengan fokus kesehatan (Brigjen Ismi), pengusaha dengan pendekatan pragmatis (Achmad Dedy Karnadi), hingga poros independen yang tampil sebagai wajah rakyat (Eka–Radmida).
Masing-masing punya kekuatan. Tapi kekuatan sejati dalam demokrasi lokal bukan sekadar elektabilitas sesaat, melainkan kemampuan membangun legitimasi ganda: legal dan sosial. Dalam istilah Mouritzen dan Svara (2002), seorang pemimpin lokal harus tidak hanya sah secara administratif, tapi juga diterima secara kultural dan dipercaya secara sosial.
Rakyat Tidak Lagi Buta Politik
Hari ini warga Kota Pangkalpinang tak bisa lagi dianggap sebagai massa mengambang. Mereka tahu siapa yang sekadar menjual baliho dan siapa yang membawa agenda perubahan. Mereka tahu siapa yang turun ke lapangan saat kampanye saja, dan siapa yang konsisten berbicara dan bekerja bahkan di luar musim pemilu.
Dan mereka tahu bahwa politik bukan hanya soal “siapa dapat apa,” tapi “siapa yang membuat kota ini bergerak ke depan.”
Partai dan Poros: Antara Mesin dan Misi
PDIP, Gerindra, Golkar, Demokrat, NasDem, dan poros independen akan memainkan peran penting. Tapi yang patut kita ingat: mesin politik tanpa misi hanya akan mengulang kebisingan elektoral yang tidak menyentuh realitas rakyat.
Saat partai sibuk berkoalisi, rakyat sibuk menunggu air bersih, kesehatan yang terjangkau, dan lapangan kerja yang tidak semu. Saat elite berbicara angka kemenangan, warga bicara biaya hidup dan masa depan anak-anak mereka.
Maka, rakyat tidak lagi butuh wali kota yang pandai berpidato, tetapi wali kota yang tahu cara menyapu jalanan korupsi, membuka pintu partisipasi, dan menghidupkan ruang publik yang manusiawi.
Menuju Kepemimpinan yang Membebaskan
Kita membutuhkan pemimpin yang membebaskan, bukan membelenggu. Yang merangkul keragaman, bukan menekan perbedaan. Yang menyalakan harapan, bukan memperpanjang luka. Pemimpin yang mampu berkata: “Saya tidak tahu segalanya, tapi saya akan belajar bersama kalian.”
Pilkada Ulang 2025 memberi kita kesempatan langka untuk mengganti bukan hanya orangnya, tetapi cara kita memahami kekuasaan itu sendiri. Ini saatnya Pangkalpinang memulai jalan baru: demokrasi yang tidak hanya diatur, tapi dihidupi. (Red/pjsbabel)
Leave a Reply